29 Februari 2012

Bicara Takdir

Ketemu lagi dengan seorang muslimah di senin siang. 10 tahun bergelut dengan dunia Sekuritas (nah, saya juga ga  begitu ngeh soal ini mah). Seorang wanita tangguh di usia 30 tahunan yang sedang mencari dan terus belajar, walau bukan bidang yang digelutinya dalam karir.

Kami berbincang.
Soal takdir. Soal kemungkinan. Soal kehidupan. Soal diri kita masing-masing.
Menyenangkan.

"Jadi yang bikin label kalau kita dapat takdir baik dan takdir buruk itu sebetulnya kita ya teh?" tanyanya.

Lha, saya juga jadi mikir. Iya ya, jangan-jangan kalau kita mendapat ujian, musibah, atau apapun yang datang ke hidup kita. Langsung mulai me-label-i dengan "baik" atau "buruk".

Contoh : Saya sudah menikah, dia belum menikah. Buat dirinya posisi 'belum menikah' ini bisa di sebut dengan takdir buruk (saat ini). Tapi bisa juga jadi takdir baik, karena Allah masih memberinya kesempatan untuk beraktifitas di ruang private maupun publik dengan maksimal. Belum ada kewajiban sebagai istri atau ibu.

Contoh lain (dari saya) : kemaren nabrak mobil orang. Ini bisa disebut takdir buruk. Karena harus mengganti kerusakan, saya juga jadi bete dan kesal seharian (tanya terus, kok bisa gini..kenapa...). Padahal bisa jadi ini juga takdir baik jika hati bergantung pada jaminan Allah, bahwa Allah akan mengganti rezeki yang kita keluarkan dengan yang lebih, bahwa Allah mencubit kita agar banyak taubat (siapa tahu kecelakaan ini karena maksiat dan dosa saya, Astagfirullah). Takdir baik jika kita mengiringi dengan banyak khusnudzan kepada Allah.

Takdir. Bicara tentangmu harus selalu mengingatkan pada diri. Rukun iman yang ke-6 ini mestilah menjadi motivasi kita untuk terus bisa yakin kepada Sang Maha. InsyaAllah.

Nah, begitulah sesi siang hari itu. Berdua berbincang dengan segala takdir di sekeliling kita (Nuhun teh).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar