27 Februari 2009

Sejarahnya Drunken Molen


Mudah-mudahan Mas Pidi Baiq ga kecewa dengan tulisan yang saya buat ini. Bukan bermaksud promosi. Hanya menyuarakan isi hati saja. Dan saya tertular gaya menulis beliau (mas Pidi maksudnya-red.Saya) yang bebas lepas dan tidak punya pakem, kecuali aturan sendiri, hehe!
Buku bersampul orens (orange-red.Saya) berhalaman 210 ini plus halaman lain-lainnya ini dititipkan seorang kawan yang meminjam dari kawan saya yang lain untuk diberikan kepada kawan yang punya buku ini. Karena jarang ketemu, secara sepihak saya memutuskan untuk meminjam dan membacanya, baik baca di rumah, di kantor, di jalan maupun di tempat tidur ^_^.
Suami bilang,”Tulisan yang aneh!” sambil nyureng-nyureng, dan dia terpaksa baca juga bab pertama.
Saya bilang,”Ah, yang penting bias dibaca.”Jadi penasaran isinya apa. Walaupun awalnya saya juga pusing, ini orang kok ya ngeyel, punya maksud apa sih dengan cacatnya harian ini.
Lama-lama (maksudnya setelah 3 sampai 4 bab terbaca) jadi ngeh juga, dan merasa diri pintar karena mengerti maksud mas Piiq (pidi baiq) ini. Ternyata mudah saja memahami buku yang tak laku di EYD (ejaan yang disempurnakan). Akhirnya saya tamat buku ini setelah 5 hari, diseling ngasih makan anak semata wayang, diseling tugas ibu-ibu rumah tangga yang biasa, di seling mikir-mikir garing dan ketawa-ketiwi baca cerita benarnya mas Piiq.
Terakhir, ini dia diskusi saya dengan suami :
S (saya) : bukunya bagus kok (setelah dibaca), bahasanya memang rieut (lieur) tapi maksudnya gampang keliatan (oleh saya).
S’ (Suami) : contohnya apa?
S (Saya) : cerita soal Piiq merayakan Naruto (suami suka Naruto), cerita soal Piiq jadi tukang serabi, cerita juga soal Piiq dan Timur ke tukang cukur (kiranya ini cukup mewakili).
S’ (Suami) : Alhamdulillah!

Tulisan ini mencerahkan saya sendiri dari fikiran-fikiran yang mengganggu dan akhirnya puas sendiri.
Terimakasih ah Mas Piiq.
(catatan : belum baca Drunken Monster dan Drunken Mama – belum ada yang minjemin lagi, hehe!)

Layar Kompi Gelap


Saya cuti 3 bulan karena melahirkan Rava. Bukan salahnya kalau setelah masuk kerja, tiba-tiba saya ditempatkan di posisi baru. Tanpa meja, tanpa komputer, tanpa jobdes, tanpa teman (sedihnya). Seminggu kelalang-kelililing. Terdamparlah di kantor lama. Dan masih belum ada meja. Lho, saya kerja apa, gimana saya kerja? Maklum era sekarang fasilitas bisa membantu manusia mempermudah kerjanya, atau terbalik. Manusia membantu fasilitas untuk kelancaran kerja (Ah, saya pusing sendiri).
Seminggu setelah masa kerja yang menyenangkan (hanya ngobrol dan diskusi seadanya plus silaturahmi sana-sini karena orang maklum saya baru selesai cuti jadi tidak apa-apa kalau sedikit santai).
Protes sana-sini, sang komputer dan meja datang juga. Meja dengan kaca bening diatasnya, komputer warna hitam tanpa speaker. Senangnya hati ini. Di install-lah kompi yang saya beri nama sama dengan anak saya (Rava). Sebentar saja kompi beres, tombol on ditekan. Jreng-jreng! Layar kompi gelap! Eleuh,kenapa? Taunya monitor sudah lawas, jadi tampilan tak secerah mentari pagi. Kesal juga, tapi itu tetep kompi saya. Terima sajalah! Dua minggu berteman dengan kompi layar gelap begini bikin saya selalu tercerahkan saat liat kompi teman dan kompi suami yang terang benderang.
Lama-lama terbiasa.
Sesudah terbiasa. Ada yang mengganti monitor saya dengan monitor yang lain yang lebih gemuk, lebih besar, dengan tombol power melesak kedalam (entah kenapa), tapi sangat luar biasa terang benderang secerah matahari yang terbit di cuaca panas.
Senangnya!
NB: Menjadi orang yang mencerahkan orang lain seperti layar kompi yang baru itu ternyata menyenangkan yang melihat ^_^
(ini hikmah yang bisa saya ambil dari tulisan sebanyak itu, hehe).

Baksonya Berkurang Satu


Fontya nyoba pake Latha (entah bahasa darimana). Soal pembelian mie ayam di dekat kantor. Di sore hari yang agak mendung. Suami dan saya pergi ke warung mie ayam karena sudah kelaparan dan sangat menginginkan mie campur ayam campur baso dan kuah itu. 6000 perak per porsi. Sempet dulu saya beli cuma 4000 saja dengan menu:
Mie + Ayam + Sayur Sosin + Baso kecil 4 biji = Enak
Nah yang 6000 sekarang menunya jadi :
Mie + Ayam + Sayur Sosin + Baso kecil 3 biji = Enak campur tanda Tanya

Ini karena bahan-bahan dasar mieay (a.k.a mie ayam) naik di semua sector atau penjual malas pusing mengatur pembelian bahan dasar, atau memang penjual (sebut saja Mas Mieay), lupa dengan 1 (satu) biji baso yang tertinggal di mangkok kami. Entahlah.

Idealnya : Harga naik = kualitas naik = mieay bertambah banyak + bakso jadi 5 biji.

Penyakit orang Indonesia seperti makin parah di lini service, pelayanan atau bahasa menyenangkan pelanggan. Yang penting dagangan laku, orang mau bayar mahal dan kita tidak rugi. Kuantitas di kurangi, kualitas di kurangi, harga di naikin. Kasihan amat si harga. Jadi kambing hitam bagi kita yang suka semena-mena mengomentari ini itu.

Padahal, tinggal makan mieay saja apa susahnya.

PR : Belajar lagi ah soal customer satisfaction, siapa tahu dikemudian hari saya bisnis di per-mie ayam-an…Amiin!

Tertukar, Penukaran, Ketertukaran


Definisi tertukar menurut saya : Ga keliru.

Sore hari yang cerah, kami semua khusyu menyimak uraian tausyiah dari Guru tercinta. Tema kali itu adalah : Harus tega.
Langsung contoh saja : anak kita sakit, tapi karena kita khawatir kita menahan diri untuk tidak pergi ke dokter karena kasihan pada si anak. Di lama-lama, eh sakitnya makin parah. Barulah kita ngeh harus ke dokter. Disini ini kita harus tega. Mending sakit diawal (misal di suntik, di beri obat pahit sampai anak muntah-muntah) tapi lebih baik disbanding sudah parah baru akhirnya harus di operasi.
Pelajaran berharga nomor satu : Tetep harus tega demi kebaikan sambil perhitungkan segala resiko yang muncul. Tawakal jalan, ikhtiar jalan. Dua-duanya memang harus seiring sejalan.
Yang bertanya : “Apakah kita harus mengejar rezeki atau rezeki yang datang ke kita?”
Yang menjawab :” Ada bayi yang kedinginan, Allah siapkan selimut dan jaket untuk menghangatkan. Bayi kehausan, Allah cukupkan dengan ASI. Bayi mimpi buruk dan ketakutan, Allah gerakan hati ibu untuk mendekap. Rezeki yang datang atau bayi yang harus mendapatkan rezeki?” eh, pertanyaan dibalikan lagi.
Saya punya bahasa yang mudah-mudahan tepat : Rezeki sudah disiapkan, tugas kita menjemputnya. Dengan niat dan cara terbaik. Rezeki tidak kemana-mana. Dia hadir di sekeliling kita. Yang mana yang jadi hak kita. Tergantung pada usaha dan niat kita.
“Apakah akan tertukar, misalnya harusnya saya dapat 10 juta, lha kok malah tetangga saya yang dapet 20 jt.” Eh, ada lagi yang bertanya.
Yang tadi menjawab, menjawab lagi :”Tidak dapat 10 juta bukan berarti tidak ada rezeki lain yang mampir. Kita disehatkan, keluarga sejahtera, anak-anak bahagia, istri setia, kerjaan lancar, dsb.” Lanjutnya,” Yang dapet 20 juta, anaknya bisa jadi sakit keras, keluarganya dapat musibah, hutangnya harus segera dilunasi, dsb.”
Maksudnya?!?!?
Hikmah yang saya dapat dari dialog Tanya jawab diatas :
Tidak akan tertukar, rezeki yang Allah siapkan buat kita pasti sempurna. Sesempurna penciptaan-NYA. Ketidakmampuan kita untuk melihat kesempurnaan-NYA itulah yang membuat kita tidak melihat bahwa rezeki yang kita dapat sudah PAS, sudah CERMAT diatur dan sudah pasti untuk kita.
Belum ada hikmah yang lain, lihat saja yang no. 1 diatas ^_^
Oya, tambahan : tidak tertukar dengan kata lain ga keliru.


Kaya : Ingin dan Butuh


Ikutilah! Ikutilah!
Seminar Ekslusif : Bagaimana agar kita kaya raya!
Hari, tanggal, tempat, waktu dan biaya bisa dilihat di pamflet.

Kalau ditanya ingin kaya atau tidak. Saya memilih jawaban : Tentu Saja! Lha, memang saya ingin kaya kok. Diri sendiri perlu dihidupi dengan cara memanjakan diri, membeli buku bagus, punya waktu shopping yang banyak dan lain sebagainya dan banyak lagi; saya perlu kaya karena anak perlu pemeliharaan yang cukup agar dia bisa tumbuh dan berkembang layaknya seorang manusia. Keluarga pun tak sedikit yang perlu kita santuni. Para rekan yang didatangkan di pinggir jalan dengan suaranya yang khas (pengamen – pengemis. Yang tak bisa sekolah, yang belum dapat kerja, yang butuh pinjaman, dan sebagainya.
Jadi jawabanya : Tentu saja!
Ingin tak ingin saya harus kaya.
Butuh tak butuh saya harus kaya.
Dengan cara apa?!?
Baru satu yang bisa saya lakukan,”Banyak memberi.” (lihat tulisan saya dengan judul : banyak 4x)

Ah, itu saja dulu!

Banyak-banyak, Banyak-Banyak!


Perlu diulang empat kali kata “Banyak” agar terpatri dalam ingatan.
Pagi-pagi sudah tekan F6. Fasilitas chat internal untuk mengirim pesan ke seluruh rekan-rekan yang terdaftar. Mudah dan cepat. Hanya dalam hitungan detik saja. Mudah-mudahan pesannya tiba kedalam hati masing-masing.
Diawali dengan sebuah pemberian.
Senyuman untuk buah hati (anak saya saat bangun sudah harus melihat ibunya tersenyum manis)
A cup of tea for my lovely husband (Allah, semoga amal ibadah ini diterima).
Pembersihan diri di pagi hari sebagai penghargaan buat diri sendiri.
Ucapan salam pertama buat ruangan kosong di daycare, entah ada yang jawab entah tidak. Tak peduli, Karena bias jadi malaikat disekitar menjawab tanpa saya ketahui.
Buka-buka web (yg koneksi internetnya belum nyambung), jadi belum bias menyapa dunia saya yang lain (cyber).
Memberi jawaban salam karena ada yang masuk ruangan dan mau pinjam Koran pagi.
1000 rupiah untuk 1 bala-bala dan 1 gehu di Ema warung (pelengkap sarapan pagi).
Memberi sapaan ringan untuk rekan-rekan sekantor dan mendengar orang lain mengucapkan hal yang sama.

Indahnya banyak memberi karena abjad (i) hingga (z) belum tuntas saya tuliskan.. Menunggu hari berganti siang, sore dan malam sehingga lengkap pemberian di hari itu sebagai penutup jumat, 27 Februari 2009.

Polisi Tidur 4 Bulan


Tidak ada hubungan sebetulnya antara kebiasaan tidur saat di bonceng diatas motor dengan maraknya polisi tidur (tolong jangan diartikan bapak/ibu polisi yang sedang tidur). Disini saya ingin menjelaskan bentuk polisi tidur yang dimaksud : Terdiri atas tumpukan semen, pasir, air yang dibentuk sedemikian rupa di tengah jalan. Ya, mirip gundukan seperti itulah. Fungsinya untuk memperlambat laju kendaraan apapun. Sehingga mereka berhati-hati ketika mengendarai. Itu sekilas tentang dia (polisi tidur).
Nah akhirnya kita sepakat soal ini (penjelasan diatas).
Usia Rava (anak pertama saya, laki-laki) menjelang 4 bulan beberapa hari lagi. Tiap pagi kami bertiga (Ayah, ibu dan anak ) menggunakan motor untuk tiba di tempat beraktifitas kami.
Ayah -à Sekolah SD-nya di daerah Cihanjuang
Ibu à kantornya di Gegerkalong
Anak à tempatnya bermain, dekat kantor ibu di Gegerkalong.

Menjelang berangkat Rava belum tidur. Masih aktif menggerakkan dua tangan dan dua kakinya. Naik motor. Masih menggeliat-geliat. Tak sampai hitungan menit sudah terlelap. Jikapun tak tertidur. Saat melewati gundukan polisi tidur yang tersebar di ruas jalan menuju kantor, bias dipastikan wajahnya dihiasi senyum dan kemudian tertidur lelap. Tak habis fikir, apa hubungan tidur dengan polisi tidur ini kecuali sama-sama punya kata TIDUR.

Yang bikin polisi tidur biasanya berharap orang-orang menyadari kehadirannya dan minimal ngedumel karena polisi tidur ini mengganggu kelancaran berkendaran. Dia tidak berharap bahwa polisi tidur-nya memberikan kenyamanan luar biasa kepada Rava. Dan ini jadi penting. Karena sejak kecil Rava belajar untuk menghargai setiap kendala, setiap rintangan, setiap ajlukan/goncangan untuk kemudian dia manfaatkan menjadi bentuk kenyamanan buat dirinya.




Mikirnya Kita


Otak tuh buat mikir. Ya macem-macem mikirnya. Mau yang remeh temeh. Mau yang serius. Mau yang bikin mumet atau yang bikin rileks. Otak tuh ada buat mikirin diri sendiri, orangtua, suami atau istri, anak, keluarga yang lain (a.k.a Kerabat), mikir kerjaan, sekolah, masyarakat, penghasilan, uang, juga mikirin orang lain yang bikin kita sebel, kesel, kecewa, marah juga yang bikin kita senang dan bahagia. Otak jadi pusing karena overload dengan hal-hal yang harus difikirkan. Belum pernah ada penelitian yang mencoba menimbang berat beban otak yang penuh dengan segala pemikiran. Berapa ons, berapa kg? Entah.
Anehnya, dia suka-suka saja diajak berfikir oleh kita (otak maksudnya). Tanpa protes, tanpa menyela, tanpa mengkritik, tanpa sekalipun memberi saran. Terkadang malah saking overloadnya kita juga memikirkan urusan orang lain yang bukan urusan kita. Mikirin harga-harga sembako yang makin naik, tapi tetap saja kita mampu beli. Mikirin soal gambar-gambar caleg di jalan-jalan yang senyum-senyum entah palsu entah tulus, padahal mungkin kita tak akan memilih mereka. Mikir anak saya mau pake jenis pampers seperti apa, diskon ada di supermarket mana ya (ini mah obrolan dengan ibu-ibu di daycare ^_^). Juga berfikir soal carut marut dunia pendidikan, soal BOS, soal pungutan liar, soal guru yang memukul murid dan soal murid yang tawuran. Ada banyak pikiran lain yang mampir di otak kita yang tak sebesar bola sepak ini. Mikir juga soal fenomena gossip artis kawin cerai seolah dengan begitu mereka sangat-sangat amat bahagia karena biduk rumahtangganya diminati oleh penggemar gossip. Ada pula yang berfikir, jika meninggal nanti ingin memberikan kenangan apa buat orang-orang tercinta, yang kenal dan yang tidak kenal (karena kematian selalu pasti, dan Izroil tak pernah salah waktu, tempat dan orang).

Lho?!? Jadi sebetulnya berapa persen yang kita fikirkan itu benar dan sehat (saya suka kalimat ini, makanya saya garis bawahi dan tebalkan).

Ah, saya jadi pusing sendiri. Dicoba saja berhenti berfikir barang sejenak. (Nah, saat menulis pun saya berfikir mau mengetik apa lagi).

Sudahlah!

25 Februari 2009

Dibawah Kendali Sang Ratu


Ada yang berbeda, pagi hari, senin 2 Februari 2009. Time to go to work again. Semalam segala hal sudah dipersiapkan.
Perlengkapan suami (helm, kunci motor, sarung tangan, dompet berisi uang, saputangan, sepatu yang sudah tersemir dan kauskakinya)
Perlengkapan anak (baju dalam, baju luar, celana, pampers dan tas bayi berisi banyak barang untuk satu minggu di Day care)
Perlengkapan ibu (selalu disiapkan paling akhir, sudah tersetrika dan wangi).
Mencuci pakaian dan mencuci piring dan memastikan waktu bangun besok pagi (kalau perlu pasang alarm).
Lalu kemudian pagi menjelang dengan cepatnya. Ibu melakukan segala hal dengan perhitungan yang ‘harus’ cermat. Tidak boleh terlewatkan waktu semenit pun sia-sia. Cek saja :
Mandi pagi sambil menjerang air panas sambil memasak nasi.
Ke warung (sementara itu bak sedang mengucurkan airnya ^_^)
Menjemur pakaian + memasak + menyiapkan bekal ayah ibu untuk makan siang.
Bayi waktunya mandi. Sudah wangi dan siap minum ASI, sambil ibu sarapan pagi.
After all finish…Ready to go!
Who said that being a fullmother at home and also an employee are easy! Hard but it was fun already. Just enjoying every moment. Feel it and find the wisdom in every situation we have ^_^

Jejak Gede Prama



Koleksi bukunya memenuhi salah satu rak buku di rumahnya. Mungkin lebih dari 5 buku Gede Prama, yang kadang dibaca hingga tuntas. Kadang dibaca yang perlunya saja, kadang malah terlupakan dan tersimpan di rak dengan manis. Deretan huruf, kata, paragraf yang merangkai menjadi tulisan itu begitu segar, memberi inspirasi pada jiwa dan akal. Bahkan gaung maknanya diserap semudah mengunyah coklat. Manis. Legit. Sampai ke relung nurani. Membaca bukan lagi sekedar hobi inderawi. Tapi juga menjadi sebuah pemaknaan akan hidup. Terimakasih.

Jika Bukan anak Ibu? Akankah..


“Jika aku tak lahir dari rahim ibu..”
“Jika aku hanya seorang kanak-kanak yang ibu kenal di jalan, di mall, di kendaraan atau dimanapun yang kemudian kita tak saling kenal..”
“Jika aku adalah makhluk mungil yang jauh, yang bahkan suaranya pun tak ibu dengar…”
…akankah IBU mencintai dan menyayangi kami dengan tulus?”
…karena kami hanya seorang kanak-kanak. Yang karena keinginan-NYA lahir dari rahim mu, atau karena kami ada di sekitarmu, tak dikenal nama atau suara…akankah kasih sayangmu menghampiri kami?...
Tak Bisa Mengharap
Sedikit saja puji aku. Satu buah kata pun tak apa. Ku telah melakukan banyak hal untukmu. Memang tidak dengan pengorbanan nyawa. Tapi aku ingin mendengar pujian dari mulutmu, walau hanya sesaat.
Maukah?
Lantas kemudian, jika kita tak mampu mengharap pada makhluk bernama manusia. Adakah tempat berharap selain DIA yang Segala?

24 Februari 2009

Mencari Hidup


Kemana? Tanyanya
Mencari Hidup! Jawabnya
Untuk apa? Bagaimana? Kepada siapa? …
Kemudian kitalah yang mengisi setiap titik dari rangkaian hidup kita.


Fragmen 1 : Sosok tua milik laki-laki itu melenggang di pinggir jalan tol yang ramai oleh lalu lalang kendaraan. Penjual bakso dorong. Profesi yang mungkin jadi pilihan kesekian bagi yang merasa punya gelar sekolahan. Tapi menjadi pilihan utama bagi pemimpin rumah tangga yang tak punya cara, keahlian dan kesempatan untuk memilih profesi lain selain jualan bakso. Memangnya dimata siapa setiap profesi berhak dihakimi?

Fragmen 2 : “Gaji saya disini Cuma 300 rebu sebulan, Mbak! Untuk biaya anak saya saja tidak cukup. Di kampung saya, uang segitu bisa dicari. Tapi di kota dengan gaji segitu, waduh, saya kok jadi ngenes sendiri. Waktu ada tawaran kerja dengan gaji 500 rebu dan pekerjaannya sama saja, ya saya pilih yang itu. Lebih untung kan?” Lagi-lagi sebuah pilihanMemangnya dimata siapa setiap pilihn berhak dihakimi? MP tgl 10 feb 09

Sandaran Kursi


Satu buah kursi kita sandari dengan nyaman, berat badan sepenuhnya tertumpu pada kursi. Saat kursi jatuh, maka kitapun terjatuh. Sakit. Di kemudian hari ujicoba berbalik. Sang kursi menyandar pada kita, kali ini kursi yang menitikberatkn beratnya pada badan kita. Saat kursi jatuh, kita tetap tak bergeming.
Mirip dengan sebuah perandaian, dan kemudian pertanyaan, siapa yang kita SANDARI? Diakah yang bernama uang, harta, profesi, title, prestasi, bentuk fisik, ilmu yang dimiliki, atau apa?!? Jika harta kita makin lama makin habis, akankah kita terpuruk dan merasa menjadi manusia yang paling menderita? Maka jawabannya, memang harta yang kita sandari. Bukannya kemampuan diri kita untuk berusaha dan mencoba memandang lebih positif pada hidup saat harta tak jadi milik kita. Maka itulah yang dinamakan kebahagiaan. FB tgl 10 Feb 09
Dia yang Bertanggungjawab
Berpanas. Berpeluh. Berlari. Berlomba dengan waktu. Menemukan dan menggali sumber-sumber kebahagiaan. Untuk jawaban yang bernama tanggungjawab sejak akad mulai di ikrarkan. Itulah yang kemudian dinamakan sebuah pengorbanan. Saat lelah mendera maka ia menemukan senyum dari istri, anak dan keluarganya sebagai kekuatan. Saat badan linu-linu dan otot mulai mengeras, ocehan anak menjadi sumber energy yang membuatnya rileks. Baginya mempersembahkan sesuatu yang dinamakan kebahagiaan bagi orang-orang terkasihnya adalah arti dari sebuah tanggungjawab dan pengorbanan tiada putus. Yang diinginkannya dari semua itu : titipan pahala di sisi Tuhan-Nya. MP tgl 13 feb 09 & vyper chat
Satu buah kursi kita sandari dengan nyaman, berat badan sepenuhnya tertumpu pada kursi. Saat kursi jatuh, maka kitapun terjatuh. Sakit. Di kemudian hari ujicoba berbalik. Sang kursi menyandar pada kita, kali ini kursi yang menitikberatkn beratnya pada badan kita. Saat kursi jatuh, kita tetap tak bergeming.
Mirip dengan sebuah perandaian, dan kemudian pertanyaan, siapa yang kita SANDARI? Diakah yang bernama uang, harta, profesi, title, prestasi, bentuk fisik, ilmu yang dimiliki, atau apa?!? Jika harta kita makin lama makin habis, akankah kita terpuruk dan merasa menjadi manusia yang paling menderita? Maka jawabannya, memang harta yang kita sandari. Bukannya kemampuan diri kita untuk berusaha dan mencoba memandang lebih positif pada hidup saat harta tak jadi milik kita. Maka itulah yang dinamakan kebahagiaan.

Mimpi Laki-laki


Satu lagi yang berhasil di amati dari sosok laki-laki. Ia sangat ambisius, pemimpi dan berjuang untuk mimpinya. Sekalipun keinginan yang remeh temeh dan tidak prinsip, ia akan kekeuh dgn impiannya. Harus didapatkan, harus diperoleh. Suatu hari sang lelaki menginginkan seperangkat computer. Alasannya untuk menunjang segala aktifitas yang dilakukan selama ini, biar lebih efektif dan effisien. Ini barang yg mahal (computer) dan tidak serta merta bisa langsung dibeli. Apa daya dia tak punya uang cukup, bahkan hanya untuk membeli seri yang paling biasa J Namun keinginan kuatnya ia wujudkan dalam bentuk sebuah kotak 10x10 cm. Setiap dia ingat dan memang ada, maka satu koin, tiga koin dengan bilangan Rp 500,- ia cemplungkan ke dalam kotak. Jika dapat dana berlebih ia masukan seribu sampai sepuluh ribu rupiah. Tidak tentu, tergantung rezeki harian J Kotak itulah perwujudan computer yang diinginkannya. Bulan berlalu, dihitung-hitung kotak sekecil itu hanya menampung kurang lebih 50 ribu saja. Tak pesimis. Demi mimpi. Sekali lagi DEMI MIMPI dan KEINGINAN. Kurang dari 1 tahun, seperangkat computer keren berwarna hitam yang ia beri nama orang tercinta nangkring juga dirumahnya. Memang mimpi yang indah, dengan catatan jika ia terwujud dalam hasil yang nyata

20 Februari 2009

Yang Berbeda Dari Dirinya/mereka!


Perawakan kecil mungil. Seraut wajah manis menghiasi bingkai parasnya. Usia yang jauh lebih muda dibanding saya. Namanya Hemi. Salah seorang baby sitter yang mendapat amanah di sebuah Day Care di Bandung. Pagi sekali saya harus memulai kerja, suami juga, sehingga putra kami yang baru 3 bulan (Rava) juga harus memulai pagi di tempat bermainnya (tak tega menyebut –tempat penitipan, hehe-). Alhasil, Rava menjadi peserta pertama yang datang paling pagi. Mba Hemi juga yang paling pagi menyambut kami berdua disana dibanding dengan baby sitter yang lain.
Sederhana, itu yang terlihat di mata visual saya. Tak banyak berbicara dengan lisan, namun senyum tulusnya senantiasa merekah. Tak hujan, tak panas. Anak rewel, anak menangis, anak susah makan, anak berlari-lari, anak bermain. Tak ada keluhan. Semua mengalir begitu lancar. Pagi hingga petang, mba Hemi dan mba yang lain bergantian menjaga dan merawat putra-putri yang dititipkan ibu bapaknya.
Judul hariannya adalah : makna ketulusan berbagi dan mengabdi.
Maha Besar Allah yang Menciptakan!Bandung, 20 Februari 2009 – dedicated to Mba Hemi, Mba Endang, Mba Anti, Mba Shobir, Mba Ari ^_^

Tidak saya beri judul saja!


“Alhamdulillah saya sudah hamil 2 bulan, doakan ya!”
selang beberapa minggu kemudian (saya baru ketemu lagi dengan teteh ini, karena memang lokasi rumah berjauhan dan tidak satu tempat kerja).
“Doakan ya, saya keguguran. Pendarahan dan akhirnya calon bayi tak terselamatkan!” wajah yang kuyu dan pucat tergambar jelas di benak saya, padahal saat yang sama bayi kecil saya lahir. Awal dan akhir pernyataan yang penuh dengan doa.
Itu di bulan November 2008.
….
Bulan Januari, tahun 2009 teteh ini bilang lagi..sedang mengandung kurang lebih jalan 2 bulan juga. Saya berbahagia dan sedikit cemas akankah kejadian lama terulang…karena kelihatannya teteh ini selalu lemas dan pucat.
Bulan Februari ini kembali kabar buruk disampaikan..
”Istri saya keguguran lagi. Pendarahannya banyak sekali. Calon bayi kami yang kedua ini tak terselamatkan lagi.” Sang suami bercerita di pagi hari yang cerah, tapi mendung tetap bergelayut di wajahnya yang berusaha untuk tetap tawakal.

Subhanalallah!
Dan hanya Allah yang Mematikan, Menghidupkan makhluk..dengan ijin-Nya setiap nyawa ditiupkan kedalam ruh-ruh yang suci. Dengan ijin-Nya pula Allah menunda kelahiran dan kematian.

Hidup dan mati ini begitu dekat dengan kita. Sayangnya, terkadang saya lupa untuk bersyukur saat ini masih di beri hidup.
(refleksi atas sebuah kesadaran).

19 Februari 2009

Bola Salju


Seorang sahabat : “Saya mau ikut kursus singkat di Belanda. Minta tipsnya dong supaya goal?”
Sahabat yang menjawab : “ Tengok niat kita yang di nurani, ejawantahkan niat dalam ikhtiar, perbaharui niat jika mulai ada indikasi penyimpangan. Utuhkan niat!” (secuil nasehat yang kembali pada dirinya).
Bola salju kecil adalah permulaan. Dia bergulir. Membesar dan kian membesar. Semakin kokoh dan tak mudah dihancurkan begitu saja. Kala kemudian niat menjadi sesuatu yang penting di awal keinginan, saat ikhtiar, saat proses dan pada hasil yang telah dicapai.

Kecemasan Akan

Sakit

Kehilangan

Terluka

Ketidakmampuan



Berbagai kecemasan datang pada sesuatu yang disebut “ketentuan”. Suka atau tidak suka, segala sesuatu dipergilirkan. Hanya soal waktu saja. Juga soal cara menyikapi. Dan kemudian kita akan menemukan “sesuatu yang bermakna”.