11 November 2011

Bayangan Entah : Cerpen


Aku sedang membaca buku. Mereka sibuk diskusi. Seru sekali. 

Tiba-tiba.
“Pinjem netbook ya?”
Aku mengangguk.
“Passwordnya apa?”

Ga ngeh.
“Eh, udah kebuka da.”
Nutup buku. Menoleh pada mereka. 3 orang laki-laki yang merubung pada satu netbook.

Siapa yang tahu passwordnya? Batinku.

“Aku yang buka.” Suaranya.
Berkacamata. Tak terlihat atletis tapi sehat. Tidak tahu siapa dia.

Bagaimana mungkin bisa dibuka. Hanya aku yang tahu log in nya menggunakan apa. Dan aku tidak kenal laki-laki itu.

Tak peduli. Aku teruskan membaca. Biarlah. Siapapun dia. Terserah.

Jam 21.00 WIB
“Makan yuk!” Ajaknya. Pada siapa?
“Aku tau tempat makan yang enak di sekitar sini.” Tatapannya menyihirku.
Yeah. Aku lapar. Tak ada salahnya kan. Ku ikuti kakinya melangkah. Menyetop angkot. Naik dan duduk bersebelahan.
Dia siapa. Temanku kah?
Makan seperti biasa. Tak ada percakapan. Setelah selesai, kembali naik angkot. Ke tempat semula. 

Masih tak tahu siapa dia. Kami hanya diam sepanjang perjalanan di malam dingin itu.

Dalam entah, hangat rasanya mulai bermain di antara kami. Tanpa komunikasi. Hanya saling memandang. Dan semuanya seolah mencair.
Perjalanan terasa lama. 

Aku tak tahu dengan hatiku, ada apa. Hatinya? Entahlah. Tak bisa menduga.

Di tempat semula. Tidak ada saling melempar senyum. Kami berpisah begitu saja.

Esoknya.

Kami bertemu.
Dia siapa?
Mengapa wajahnya hadir di mimpiku tadi malam. Dan rasa hangat itu masih terasa hingga kini. Di segenap aliran darahku.
Pagi ini melihatnya menggendong seorang bocah kecil yang lucu dan menggemaskan. Bayi siapa?
Kita terikat bukan? Oleh sesuatu yang bernama entah itu. Kamu melihatku dengan mata kejora. Aku menatapmu dengan tanya.
Hatiku hangat kembali.

Aku kenapa.

“Lu ngapain bengong disitu, sini si Ade gw yang pegang aja. Bukannya lu mau presentasi.” Temannya tiba-tiba memutus tatapan kejora itu.

Aku diam.
“Titip ya!” katanya pada temannya itu. Si bayi tersenyum, lekat di gendongan temannya.

Dia pergi. Begitu saja.
“Nah, ini lagi yang bengong. Ngapain lu? Bukannya mau ikut seminar. Ntar telat, rugi banget. Dia bagus banget kalau presentasi, dan semua bahan disiapkan oleh istrinya.” Promosinya tentang lelaki itu.

Kehangatan itu mulai menguap sedikit demi sedikit setelah jeda panjang kalimat terakhir yang diucapkannya..dan seiring langkah kaki memasuki ruang seminar.

Aku tahu. Hangat itu cinta. Aku tahu cinta itu nyeri. Aku tahu nyeri itu menghujam sampai ke jiwa.
Yang aku tak tahu, siapa lelaki beristri itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar