11 November 2011

Cappuccino


Hari itu. Di Desember yang basah. Melihatnya lagi dalam kemeja abu-abu bergaris tipis dan jeans hitam. Menyesap cappuccino dalam diam dan ditemani laptop sewarna kemeja. 4.30 sore, selalu di jam itu. Setiap hari jumat. Sendiri, seolah memiliki ruang dan waktu sendiri.

Tinggi sedang. Rambut pendek rapi. Kulit kecoklatan. Tidak tampan, tapi menarik. Mungkin karena senyum yang selalu dia sunggingkan setiap masuk ke tempat ini.

Kukira dia seorang mahasiswa, tapi kelihatannya terlalu dewasa. Jadi kusimpulkan dia adalah seorang pegawai kantor. Dia tak pernah datang di hari lain selain jumat. Tidak dengan teman-temannya dan tidak terlihat mengobrol dengan siapapun di tempat ini. Hanya disana, di pojok dekat air terjun buatan. Bertiga saja. Dengan cappuccino dan laptop.

Itu di Desember. Artinya sudah 4 kali jumat dia datang.

Ini Januari di tahun yang baru. Aku bersemangat menyambut sore di jumat pertama bulan pertama. Senangnya. Bertemu dia yang sendirian. Menatapnya, menyambut senyumnya di pintu masuk. Menawarinya segelas cappuccino. Sungguh senang. Terasa hangat saat memikirkan sosok nya saja.

Meja dan kursi itu masih disana. Air terjun buatan masih mengalir. Meja itu kosong.

Dan selama 4 minggu di Januari. Juga Februari. Juga Maret. Juga April. Meja itu kosong. Tentu saja karena tak ada dia yang duduk disana. Hilir mudik selalu berganti orang yang berbeda menempati meja itu, tapi bukan dia. Orang lain, dan bukan dia.

Aku tak mengenalnya di Desember. Juga di Januari, Februari, Maret dan April. Tapi aku tahu aku kehilangannya. Sangat. Mulai ada segaris luka di hati kala tak bisa menatap sosoknya. Merindui yang sangat. Mengenangnya membuat pilu. Ada entah di sini. Di hati.
Lalu aku mulai tak memperhatikan meja itu lagi. Membiarkannya. Melewatinya setiap aku bisa. Berusaha tak menatap pintu masuk.

Mei belum lagi berakhir. Masih minggu ke empat. Ini hari kamis. Aku sungguh tak berharap dia datang besok Jumat.

Tapi ada dia. Disana. Di meja yang biasa. Hari jumat itu. Dengan cappucinno-nya. Tapi tidak ada laptop. Ada yang menggantikan benda itu. Sosok perempuan berambut sebahu yang anggun dan mempesona. Cantik, menawan dan terlihat sangat cerdas dengan kacamata di wajahnya.

Senyumnya tidak hanya saat masuk, tapi saat berbincang, saat si wanita mengatakan sesuatu. Matanya tersenyum. Aku tahu itu senyum apa. Senyum kehangatan, senyum sepenuh perasaan. Karena aku memiliki senyum itu untuk dirinya. Hanya buat dia. Seorang.

Ada yang mendadak perih. Ah! Hati, kau terbuat dari apa. Sedemikan rupa menjajah rasa.

Dia. Masih disana dengannya.
Aku. Masih disini, di balik meja penuh berbagai macam makanan manis. Dan terasa pahit di pandanganku sejak hari jumat terakhir di bulan Mei.

Dia. Tak pernah aku tahu.
Dia. Tak tahu siapa aku.

Seorang pelayan café saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar