25 November 2011

Pria Itu

Dia menamakan dirinya pria.
Berpostur biasa. Kulit sawo matang. Berkacamata. Terlihat pintar dimataku. Tidak terlalu gemuk, dan juga tidak sangat kurus. Sedang saja. Di tangannya selalu terlihat handphone yang kerap di tengoknya berkali-kali. Kelihatannya sedang menunggu sesuatu. Duduknya terlihat gelisah di halte itu.

Uhm. Kufikir dia thirty something. Terlihat dari garis wajahnya yang tegas, penampilannya yang tidak boyish, cenderung asal dengan kemeja bergaris tipis abu-abu. Dibalut dengan jeans biru agak belel. Mungkin seorang pekerja, kalau tidak wartawan, bisa jadi penulis buku. Ya, sesuatu tentang menulis saja. Karena terlihat pintar.
17 kali. Aku menghitungnya diam-diam, dalam rinai hujan yang turun sejak setengah jam lalu. Terjebak di halte bersama seorang pria murung berkacamata yang sibuk dengan handphonenya. Sama sekali tak usik sekitar. Itu sudah 17 kali dia melihat selulernya. Ada apa? menunggu sms, menunggu telf. Tapi sedari tadi tak ada bunyi apapun. Bergetar pun tidak, dan tak terlihat dia mengangkat benda hitam itu.

Bisku masih belum datang. Aku asyik kembali memperhatikannya. Duduk semakin gelisah, apa dia mau dipecat ya? Atau keluarganya ada yang sakit keras, istrinya mungkin ( aku tak ingin membayangkan dia memiliki istri), atau bisa jadi temannya yang sudah berjanji datang. Aku sibuk. Memikirkan banyak kemungkinan tentangnya.

Trrrtttt....ups, hp ku bergetar. Satu sms dari yang kukenal muncul. Wajahnya terusik oleh gerakanku membuka sms dan membalasnya. Dia terlihat sepi.Sekejap aku tak peduli, sibuk reply sms dari yang kukenal itu.

Saat ku ingat, ku tengok sisi sampingku. Pria itu sedang tertawa, tanpa suara, hp nya menyala terang, tanda ada sms disana. Masih tertawa, dan tiba-tiba meluncur butiran air, bukan air hujan depan halte. Tapi sejumlah air mata pria dari balik lensa kacamatanya. Dia menangis sambil tertawa. Begitu terus hingga lewat 5 menit. Apa yang harus aku lakukan?

Ah, pria itu punya banyak masalah. Itu yang aku tahu pasti. Bergegas ku tinggalkan halte, karena bis sudah tepat berada di depanku. Pria itu masih disana, saat ku mendapatkan bangku kosong. Masih dengan tawa dan tangis yang pecah. 

Wahai pria, mengapakah?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar